Usai makan siang di restoran Al Syam milik orang Syria di tengah kota Malaga, Marko mengajak kami semua berjalan kaki menuju parkiran mobil yang lumayan jauh. Semua kota besar di dunia saat ini memang tengah menghadapi masalah yang sama soal perparkiran. Kami tertawa ketika si Buyung Mierza berteriak “Asiiiik….kalorinya terbakar lagi”.
Hari sudah pukul 15.25 saat itu. Marko memacu mobil menyisir gunung yang akan membawa kami ke Ronda. Ronda adalah kota kecil terisolir di puncak gunung. Yang mempunyai nilai penting dalam sejarah Islam di Al-Andalus.
Kami menyusur pantai mengambil rute E-15, melewati Fuengirola dan menikmati kemewahan Marbella (baca Marbeya) yang hanya dimiliki artis-artis hollywood dan orang-orang terkaya di dunia. Sebut saja Antonio Banderas dan istrinya Melanie Griffith, Joan Colins, Sean Connery dan sederet nama kondang lainnya.
Marko bilang, perjalanan akan memakan waktu sekitar 1 jam 45 menit, meski jaraknya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 100 kilometer. Hanya saja lantaran keadaan jalan yang berbelok-belok, ditambah pemandangan indah yang menggoda kita untuk berhenti.
Seraya menyetir, Marko menunjuk kea rah kiri jurang yang melihatkan pemandangan laut yang membentang luas. “Di ujung sanalah selat Gibraltar, yang ditaklukkan pasukan Tariq bin Ziyad saat memasuki Spanyol untuk pertama kali. Ucap Marko menunjuk laut yang jauh. Selat Gibraltar terletak antara antara Laut Tengah dan Samudra Atlantik, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia sejak dulu kala.
Gibraltar terletak di sudut Eropa bagian selatan. Berhadapan dengan Maroko benua Afrika. Secara geopolitik, selatan Gibraltar ini sangatlah penting, karena tak ada jalan lain untuk kabur dari gunung besar Gibraltar. Nama Gibraltar berasal dari bahasa Arab ‘Jabal Tāriq’ yang berarti ‘Gunung Tariq’. Dan Tariq yang dimaksud tentulah Tariq Ibn Ziyad.
Setiap mendengar nama Tariq Ibn Ziyad, saya selalu terkenang cerita yang melegenda tentang pembakaran kapal yang dilakukan Tariq, agar 300 orang pasukannya tak punya pilihan lain untuk bertahan hidup melawan 100.000 pasukan Raja Roderic. Satu-satunya cara hanyalah bertempur mati-matian, karena tak ada jalan untuk kembali.
Belakangan saya baru tahu, bahwa cerita tersebut diragukan banyak sejarawan Islam. Dan cerita tentang kepahlawanan Tariq Ibn Ziyad itu ternyata begitu banyak versi, tergantung siapa yang menuliskannya. Termasuk tentang jumlah pasukan beliau. Ada yang menyebut 300 dan ada yang mengatakan 600 orang. Dan 7.000 orang versi Encyclopaedia Britannica.
Tapi ada pula yang menyebut, bahwa meski pada awalnya pasukan Tariq berjumlah hanya 300 orang Arab, tapi ditambah 10.000 Berber yang masuk Islam. Lalu saat mereka mendarat di Gibraltar, kembali beroleh bala bantuan sebanyak 7 ribu pasukan kavaleri untuk menghadapi pasukan Raja Roderic yang berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 100 ribu bala tentara.
Sepanjang perjalanan yang penuh liku-liku dan menanjak tersebut, ingatan saya tak lepas dari paristiwa kepahlawanan Tariq Ibn Ziyad. Saya membayang-bayangkan bagaimana perkasanya si manusia kuat yang awalnya hanya budak itu kemudian dipercaya Raja Musa Ibn Nusayr menjadi jendral perang untuk membantu rakyat yang tertindas, termasuk keturunan Raja Witiza yang meminta pertolongan setelah tahtanya direbut paksa Raja Roderic dari Kerajaan Visigothic.
Cahaya mentari sore dengan kasar menampar wajah saya yang duduk paling kiri di kursi tengah, tak mampu mengusik asiknya menikmati indahnya pandangan mata. Seraya mengucap MashaAllah atas kemahabesaran Sang Maha Pencipta, diri ini masih saja diikuti lamunan akan peristiwa sejarah Tariq Ibn Ziyad, yang sadar atau tidak, karena dialah saya ada di sini. Dan menyaksikan jejak kejayaannya.
Daaaan akhirnya kamipun sampai di Ronda, lebih cepat dari yang diduga. Karena Marko menyetir mobil dengan ngebut, seperti pemukim yang telah hapal jalan, lancar jaya di setiap tikungan.. Hingga …hap …hinggap di Ronda.
Ronda hanya kota kecil 481.3 km² yang dihuni sekitar 33 ribu penduduk. Berada di pucuk pegunungan di provinsi Malaga Spanyol yang lokasinya sangat dramatik. Mencuat di tubir jurang yang sangat dalam. Ngarai yang sebut masyarakat Spanyol El Tajo ini, tanahnya sudah mengeras seperti batu cadas. Karena itu bisa dimengerti mengapa sepanjang jurang padat dengan gedung-gedung bertingkat dan berjejer seperti tak takut dihoyak gempa.
Saya yang masih trauma, terbawa peristiwa gempa, tsunami dan likuifaksi saat menjadi relawan kemanusiaan di Lombok, Palu, Banten beberapa bulan lalu, selalu bergidik saat memandang, apalagi menginjak kaki di gedung bertingkat. Karena itu antara penasaran dan ngeri, mencoba menyisir pinggir ngarai, mengabadikan keelokannya seraya penasaran, ingin menyigi, seperti apa rupa dasar ngarai dan ingin turun ke sana.
Sesaat setelah diturunkan Marko di bunderan lepas Puente Nuevo, kami bertebaran sesuai rasa kaingin tahuan dan minat. Saya menyisir bagian kiri jembatan yang memisahkan ke dua sisi kota Ronda. Dahulu kala sebelum ada jembatan Puente Nuevo, ke dua sisi kota adalah belahan terpisah antara 2 kekuasaan. Yang satu adalah kota tua bekas peninggalan Daulah Islam pemerintahan Moor, sedang yang satunya lagi adalah kota baru yang dibangun di abad ke-15 setelah Islam diusir dari kota ini.
Saya berjalan mengitari bibir ngarai. Tapi belum terlalu jauh berjalan sudah ditelepon ponakan saya Nabiel, agar kembali berkumpul 10 menit lagi di tempat kami diturunkan tadi, yakni di alun-alun Plaza Duquesa de Parcent. Jadilah saya berbalik arah Bersama Mierza, Iip dan Eka ke arah Plaza de Toros, arena adu banteng yang dibangun abad ke-18 di kota baru. Lokasi ini sangat legendaris, yang menjadi salah satu landmark kota yang sangat populer. Waktu kami datang, sedang tidak ada pertunjukan matador. Tapi masih tetap bisa masuk dengan membayar 7 euro.
Orang Hispanik menyebut Ronda dengan nama “Pueblos blancos Andalucya”, alias desa putih Al-Andalus. Sesungguhnya daerah ini bukanlah daerah yang mudah untuk dicapai. Saya membayangkan bagaimana gigih dan tangguhnya Bangsa Moors masuk ke pucuk Malaga ini. Sekarangpun jika tak ada turis betapa sunyinya Ronda. Itu sangat terasa saat kami dibawa Marko melihat pemandangan dari bawah jembatan. Sungguh senyap dan menakutkan. Mungkin istilah sekarang “Tempat jin Buang Anak”.
Di pedesaan bagian bawah Puento Nuevo kami melihat beberapa gereja tua dan perkampungan warga sekitar jembatan. Kata Marko, semua gereja tua di sini dulunya adalah masjid yang beralih fungsi. Saya langsung terbayang peristiwa di saat masyarakat Islam dikejar-kejar dan diintimidasi di daerah ini. Barang siapa yang ketahuan melakukan ibadah shalat akan langsung dipenggal.
Setiap hari Jumat, semua rumah tidak boleh sedikitpun menutup pintunya, agar tantara katolik bisa dengan leluasa melihat siapa yang melakukan ibadah shalat Jumat. Dan rumah siapa yang dipakai untuk shalat. Karena masjid-masjid sudah mereka hancurkan, atau dialih fungsikan menjadi gereja. Bahkan pernah suatu ketika mereka membantai semua penduduk kampung karena ketahuan ada beberapa warganya bepergian jauh. Setelah semua orang dewasa dibunuh, maka mereka mengambil semua anak-anak balita dan bayi, untuk diasuh di sebuah panti asuhan dan menjadikan mereka sebagai Katolik.
Dari beberapa literatur dan sumber info yang menceritakan tentang Ronda, saya beroleh pengetahuan, bahwa sebelum dihuni oleh masyarakat Islam, sesungguhnya Ronda adalah kota tua yang kehadiran manusia tertuanya berasal dari zaman Neolitik dan Zaman Tembaga awal (milenium V – IV Sebelum Masehi) dengan pemukiman musiman yang terletak di distrik La Ciudad alias Kota Tua saat ini.
Kehadiran manusia purba di daerah ini juga dibuktikan dengan peninggalan situs gua. Yang paling terkenal di antara ini adalah Gua Pileta yang sisa guratan tangannya menjadi salah satu contoh terbaik seni gua Paleolitik di Andalusia.
Sebelum Islam masuk, 20 kilo dari kota Ronda, sesungguhnya adalah sisa reruntuhan kota Acinipo yang dibangun di zaman Romawi dan konon dulu diresmikan oleh Julius Caesar pada abad pertama Masehi.
Ketika manusia telah melupakan reruntuhan Acinipo, lalu Bangsa Moors masuk ke daerah ini dengan menyebutnya dalam Bahasa Arab “Izna-Rand-Onda”, yang akhirnya disebut singkat “Ronda”.
Saat ini meski tak ada lagi komunitas Muslim yang tersisa di Ronda, tapi masih bisa sekedar bernostalgia dengan memasuki kota melalui Puente Arabe, dan pulang melalui Puerte de la Cijara yang sekarang sudah tua. Selain itu kita juga masih bisa menyaksikan gerbang Almacobar, yakni gerbang kota terbesar dan terlindung.
Nama Almacobar diambil dari pemakaman Arab yang bernama Al-Maqabir yang berdiri di bagian kota ini. Gerbang Almocabar menghadap Gibraltar dan laut dan akan menjadi titik masuk utama bagi kebanyakan orang.
Selain gerbang Arab, satu lagi aroma Islam yang tersisa adalah Hamam. Alias tempat pemandian ala Arab yang dibangun pada akhir abad ke-13. Saat itu Pemerintahan masih dipegang Raja Abomelik atau Abdul Malik. Di hamam ini konon masih dipertahankan kuali besar untuk memanaskan air. Ventilasi berbentuk bintang di atap ala-ala istana Alhambra konon juga masih asli dan dijaga dalam kondisi baik.
Sebetulnya saya ingin sekali turun ke desa pertanian dan peternakan yang terlihat jelas dari atas ngarai petak paddocknya. Ah, saya membatin dalam hati, suatu saat jika ada rejeki ke Ronda lagi, saya ingin menginap di kota tua ini, dan siapa tahu juga bisa menjajal kereta api dari Malaga, yang waktu tempuhnya 2 jam.
Banyak turis yang mengatakan bahwa pilihan terbaik adalah kereta langsung yang ditawarkan oleh layanan kereta nasional Spanyol, Renfe, yang harganya € 14,50 sekali jalan, atau dengan harga khusus. Tiket pulang-pergi dibanderol seharga € 24. Kereta ini berangkat setiap hari dari stasiun María Zambrano di Malaga pada pukul 10:05 pagi. dan tiba di Ronda dua jam kemudian. Atau jika sedang roadtrip, jalur ini konon jalur favorit turis yang hendak menuju kota Seville.
Kemaren saat kami pulang dari Ronda, kami melewati rute yang berbeda dengan jalan di waktu pergi. Pulangnya kami melewati perkebunan zaitun dan jeruk yang teramat panjang, dan sempat turun membeli langsung jeruk manis dari petani. Dan seumur hidup, inilah jeruk termanis yang saya pernah nikmati. MasyaAllah
Sayang sekali kami tidak sempat melongok Istana Mondragon yang terkenal indah dan dibangun pada tahun 1314 oleh Raja Moor Abomelik. Istana ini konon juga pernah dipilih sebagai tempat tinggal utama untuk Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.
Yang Singgah